Oleh: Haji Mi Pemerhati Data
HALLOUP.COM – Guys, daku tiba-tiba jadi ingin membahas persoalan PPN naik 12% ini, memang banyak yang menentang kebijakan ini.
Tapi karena aku orangnya mayan data-sentris, aku coba gali lebih dalam lagi soal dampak kenaikan PPN pada daya beli kita sebagai RAKDJAT. Lmao.
Jadi inti dari permasalahan ini bertumpu pada kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% yang disinyalir efektif mulai tahun depan.
Baca Juga:
Dinilai Bisa Buat Fiskal Negara Terjaga, Kementerian Keuangan di Bawah Presiden Prabowo Subianto
Dan ada seruan di medsos untuk memboikot produk yang terkena PPN sebagai bentuk protes.
Serikat buruh pun mengancam untuk mogok kerja agar suara mereka didengar.
Anyway, yang paling menarik bagi Haji Mi, adalah boikot pada produk yang terkena PPN ini.
Sebenarnya memang sudah diatur di undang-undang produk mana saja yang kena dan yang tidak kena.
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Gandeng BI di Tokyo, Genjot Ekspor Komoditi Pertanian Nasional ke Jepang
Dalam 32 Kesepakatan, Indonesia dan Tiongkok Berkomitmen Dagang Senilai 13,64 Miliar Dolar AS
Aku lebih tertarik dengan daftar produk yang tidak kena.
Apa aja yak?
Produk yang dimaksud ini meliput barang fisik dan jasa. Yang tidak kena termasuk:
1. Barang kebutuhan pokok (beras, kedelai, jagung, daging, susu, buah, dll.).
2. Makanan/minuman di restoran atau hotel (kena PB1, maksimal 10%).
Baca Juga:
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
CSA Index Oktober Meningkat Jadi 76,09: Penurunan Suku Bunga dan Optimisme Pasar Dorong Pertumbuhan
3. Barang hasil tambang mentah, emas batangan, dan transaksi keuangan.
4. Layanan kesehatan, sosial, pendidikan, Keagamaan, dan transportasi umum.
5. Jasa kesenian/hiburan tertentu dan tenaga kerja (kena pajak daerah).
6. Jasa asuransi, keuangan, dan penyiaran non-iklan.
Pelaku usaha juga dikecualikan dari PPN dengan omzet:
1. Di bawah Rp4,8M per tahun.
2. UMKM dikenakan PPN sebesar 1-3%.
Okay, phew. Sekarang kita lihat komposisi pengeluaran masyarakat pada tahun 2023 menurut BPS (Badan Pusat Statistik).
Komposisi pengeluaran masyarakat utama pada tahun 2023 berupa:
1. 48,99% = makanan dan minuman.
2. 26,69% = perumahan dan fasilitas rumah tangga
3. 2,23% = barang dan jasa.
4. 2,48% = pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.
5. 3,80% = barang-barang tahan lama.
6. 4,00% = pajak dan asuransi.
7. 1,80% = keperluan pesta dan upacara.
Kebutuhan makan dan minum kemungkinan sangat besar tidak terkena PPN (kecuali makanan kemasan).
Kalau urusan perumahan, selama mengontrak juga ngga kena PPN. Dan pengeluaran untuk listrik kena PPN hanya jika daya lebih dari 6.600 watt. Belum lagi token listrik dan air bersih yang bebas PPN.
Jadi kalau kita lihat potensi dampak, sekitar 75% pengeluaran rumah tangga tidak kena PPN.
Kalau kita lihat negara tetangga, Malaysia dan Vietnam malah mengenakan PPN pada sembako dan jasa pendidikan, wk.
Yuk kita lihat data yang lain, kali ini data beban PPN pada masyarakat berdasarkan kelas pendapatan dari LPEM UI.
Pengeluaran rumah tangga:
1. Miskin (20% terbawah): Rp 1.100.000 per kapita.
2. Kaya (20% teratas): Rp 14.000.000 per kapita.
Pembayaran PPN sebelum COVID-19 (2013-2019):
1. Rumah tangga kaya (20% teratas): 5,04% pengeluaran atau Rp 705.600/kapita.
2. Rumah tangga miskin (20% terbawah): 3,93% pengeluaran atau Rp 43.230/kapita.
Pembayaran PPN selama COVID-19 (2020-2021):
1. Kaya: 5,10% pengeluaran atau Rp 714.000/kapita (+Rp 8.400).
2. Miskin: 4,15% pengeluaran atau Rp 45.650/kapita (+Rp 2.420).
Pembayaran PPN setelah Kenaikan PPN 11% (2022-2023):
2. Kaya: 5,64% pengeluaran atau Rp 789.600/kapita (+Rp 75.600, setara harga kopi mewah).
3. Miskin: 4,79% pengeluaran atau Rp 52.690/kapita (+Rp 7.040, setara 2 bungkus Indomie).
Jadi berdasarkan data-data ini, aku sendiri berani menyimpulkan bahwa, bagi rumah tangga menengah, tambahan sekitar
Rp 20.000 – Rp 30.000 per kapita atau Rp 100.000 per bulan untuk keluarga seharusnya tidak menyebabkan kehancuran finansial.
Yes, it’s bad, tapi tidak yang selebay narasi yang bermunculan di medsos. Agak fear-mongering (bentuk ketakutan berlebihan menurut aku).
Tentunya ini dengan harapan bahwa pemerintah bisa memanfaatkan dana tambahan dari kenaikan PPN secara produktif, bukan untuk hal tidak penting (kek beli mobil Rubicon atau apalah, Imao).
Dan sebenarnya yang pajak itu ngga hanya PPN lho, ada juga pajak-pajak lain yang ikutan dirombak yang bebannya diringankan, tapi itu buat topik yang selanjutnya.
Dan aku paham banget kalau di ekonomi yang sekarang memang semakin sulit untuk menabung. Jadi semoga kawan-kawan terus mempersiapkan diri dan melek secara finansial.
Aku yakin negara kita tercinta ini akan selalu resilien pada perubahan-perubahan global (perang Rusia-Ukraina, El Nino, dan efek pasca-Covid) yang masih menggerayangi kita saat ini.
Stay safe, stay healthy, and see you next time!***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infoekbis.com dan Kengpo.com
Jangan lewatkan juga menyimak berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media 062.live dan Hallobandung.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional)
Atau hubungi langsung WhatsApp Center Rilispers.com (Pusat Siaran Pers Indonesia /PSPI): 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Klik Persrilis.com untuk menerbitkan press release di portal berita ini, atau pun secara serentak di puluhan, ratusan, bahkan 1.000+ jaringan media online.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.